INFOPELAJAR.COM – Gerakan Merdeka Belajar disambut baik oleh ekosistem pendidikan di Kabupaten Aceh Utara. Tercatat, hingga saat ini, berbagai program prioritas khususnya di lingkup Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), menorehkan capaian gemilang.
“Kebijakan Kemendikbudristek sifatnya sukarela. Siapa yang mau ikut, silakan. Seiring dengan tingginya minat sekolah untuk berpartisipasi maka akan muncul keinginan untuk mempertahankan program yang berjalan dan tidak mau berhenti,” tutur Direktur Jenderal GTK, Nunuk Suryani, ketika berkunjung ke SMAN 1 Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, beberapa waktu lalu.
Merujuk data Kemendikbudristek, sebanyak 1.068 sekolah di Aceh Utara telah mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
Nunuk Suryani mengatakan, umumnya daerah yang memiliki angka partisipasi tinggi dalam menjalankan Kurikulum Merdeka telah memiliki ekosistem yang sadar untuk bergerak maju.
Ekosistem itu terbentuk dengan sendirinya melalui kesadaran untuk berubah sehingga gerakan Merdeka Belajar itu berangkat dari bawah.
“Saya mengimbau sekolah-sekolah di luar Sekolah Penggerak untuk segera mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Sedangkan untuk sekolah yang sudah menjalankan Kurikulum Merdeka, saya harap dapat terus menggerakkan komunitas belajar dalam lingkup yang lebih luas,” ucap Nunuk Suryani. Tercatat, ada 31 Sekolah Penggerak di Aceh Utara.
Menurutnya, pembelajaran yang berorientasi pada siswa harus terus ditegakkan karena pada akhirnya siswalah yang merasakan dampak dari pembelajaran tersebut.
Jika karakter siswa di suatu sekolah bagus maka mutu sekolah tersebut juga bagus. Oleh karena itu, Nunuk Suryani mengingatkan agar kepala sekolah sebagai nahkoda di satuan pendidikan menjalankan perannya dalam mengawal alur dan proses pembelajaran dengan baik.
“Ciptakan program yang relevan dengan karakteristik sekolah. Lanjutkan semua hal yang baik, koordinasikan program dengan pemangku kepentingan,” ujar Dirjen Nunuk menyemangati kepala sekolah dan guru untuk terus meningkatkan aktivitas dan budaya belajar.
Kolaborasi antarsekolah, sambung dia, juga harus terus berjalan untuk saling berbagi ide kreatif sembari secara aktif meningkatkan dan mengembangkan potensi diri maupun para pendidik melalui Platform Merdeka Mengajar maupun platform lainnya secara mandiri.
Terkait Guru Penggerak, terdapat 581 Guru dan Calon Guru Penggerak (CGP) di Kabupaten Aceh Utara. “Secara konsisten, Balai Guru Penggerak (BGP) terus berkoordinasi dan mengadvokasi guru-guru se-Aceh. Alhamdulillah, apa yang diupayakan oleh para pihak terkait membuahkan hasil yang menggembirakan,” ucap Kepala BGP Aceh, Teti Wahyuni.
Pada kesempatan ini, Teti juga berpesan kepada kepala sekolah untuk memberdayakan seluruh Guru Penggerak yang tersedia guna meningkatkan mutu pembelajaran dan mempercepat transformasi pendidikan di Aceh Utara.
Ia menyampaikan harapannya agar di masa mendatang sinergi antarpemangku kepentingan semakin solid guna memberi kesempatan kepada Guru Penggerak dapat diangkat menjadi kepala sekolah.
Hingga saat ini, terdapat 40 kebutuhan kepala sekolah. Sebanyak 26 orang kepala sekolah pensiun dan 14 orang kepala sekolah masih berstatus Pelaksana tugas (Plt.). Sementara itu, di Aceh Utara sendiri memiliki 108 orang calon kepala sekolah dari unsur Guru Penggerak.
“Angkatlah Guru Penggerak menjadi kepala sekolah karena Guru Penggerak telah dibekali dengan berbagai materi yang menunjang penguatan karakter kepemimpinan sehingga dapat menjadi sosok teladan di satuan pendidikan,” jelas Teti.
Dia mendorong Guru Penggerak untuk memberi warna positif bagi lingkungannya bukan sekadar membanggakan diri sendiri namun tujuannya adalah melahirkan generasi muda yang meneladani Profil Pelajar Pancasila.
Cerita Guru Penggerak Jadi Kepala Sekolah
Berikutnya, kisah kepala sekolah yang mengimplementasikan Kurikulum Merdeka datang dari Kepala SDN 7 Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara, bernama Mahdi.
Ia adalah Guru Penggerak Angkatan 1 yang diangkat menjadi kepala sekolah pada akhir tahun 2020. Mahdi bercerita bahwa pengalaman mengikuti program Guru Penggerak (PGP) banyak menginspirasinya dalam menerapkan model kepemimpinan di sekolah.
“Materi penguatan dalam PGP sangat mendukung dan membantu saya terutama yang terkait dengan pemimpin pembelajaran, pembelajaran yang berpihak pada murid, coaching, dan membuat sekolah yang nyaman bagi murid,” tuturnya yang dalam proses PGP sempat terpikir untuk mengundurkan diri karena merasa kesulitan dalam mengelola waktu.
Namun, berkat motivasi dan arahan dari sesama guru ia bisa menyelesaikan PGP. Bahkan didaulat menjadi Koordinator Guru Penggerak Angkatan 1 di wilayahnya.
Adapun 10 modul yang diberikan sebagai bekal kepada Calon Guru Penggerak, yaitu 1) Filososfi pendidikan nasional, 2) Nilai dan peran Guru Penggerak, 3) Visi Guru Penggerak, 4) Budaya positif, 5) Pembelajaran yang berpihak pada murid, 6) Pembelajaran sosial, 7) Emosional learning dan coaching, 8) Pengambilan Keputusan sebagai pempimpin pembelajaran, 9) Pemimpin dalam pengelolaan sumber daya, serta 10) Pengelolaan program yang berdampak pada anak.
Dalam memimpin sekolah, Mahdi bercita-cita membuat sekolahnya lebih ‘hidup’. Namun, tantangannya adalah mengubah pola pikir guru-guru yang merasa nyaman dengan model pembelajaran sebelumnya dan tidak mau berubah.
Di sinilah ia mengkolaborasikan peran guru junior untuk menjadi penyemangat bagi guru senior dalam mewujudkan komunitas belajar yang lebih bergairah.
“Kita bisa mengambil sisi positif dari guru senior yaitu pengalaman mengajarnya. Sementara itu, kita bisa belajar dari guru muda yakni penguasaannya terhadap teknologi informasi,” sebutnya memberi contoh.
Mahdi kemudian menginisiasi Kelompok Kerja Guru (KKG) setiap Sabtu selama hampir enam bulan. Operator sekolah juga dilibatkan untuk menambah keterampilan dasar guru dalam mengoperasikan komputer guna menunjang proses pembelajaran.
“Upaya ini lalu dipraktikkan pula pada komunitas Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) di mana secara periodi melakukan bimbingan serupa yang tidak hanya dilakukan di K3S lain namun juga sekolah hingga tingkat gugus,” jelasnya.
“Saya mendorong guru senior agar lebih terbiasa menggunakan laptop. Saya tanamkan kepada mereka bahwa ini bukan bentuk pemaksaan. Melainkan program bersama yang menjadi kebutuhan kita semua. Kalau kita tidak bisa IT, maka kita akan dijajah oleh kebodohan diri kita sendiri. Kita bekerja untuk hidup namun merasa seperti belum merdeka,” ungkap Mahdi.
Salah satu guru di SDN 7 Syamtalira Aron menyampaikan pendapatnya tentang kepemimpinan Kepsek Mahdi. “Pak Mahdi adalah sosok yang sangat mengayomi kami bahkan yang mendorong saya untuk mengikuti program Guru Penggerak adalah beliau,” ujar Safriani.
“Saya merasa sangat senang memiliki kepala sekolah dari Guru Penggerak karena beliau mendorong kami semua untuk terus bergerak dalam memajukan mutu pendidikan. Saya tidak merasa terbebani dengan program-program yang beliau terapkan di sekolah. Malah saya sangat bangga sekolah kami dipimpin oleh beliau yang sangat peduli untuk memajukan dunia pendidikan khususnya di wilayah kami,” pungkasnya.